I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
sebelumnya masih terpaksa mendasarkan diri kepada rezim hukum Laut Wilayah (
Territoriale Zee ) warisan Pemerintahan Kolonial Belanda. [1]
Dalam KHL 1982 tidak ditemukan definisi
tentang “laut teritorial” hanya disebut pada pasal 3 , bahwa “ setiap negara
berhak menetapkan lebar laut territorialnya hingga suatu batas yang tidak
melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan
konvensi ini “, serta ditentukan dalam pasal 4, bahwa “ batas luar laut
territorial adalah garis yang setiap jarak titiknya dari titik yang terdekat
dari garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial”.[2]
Dalam hukum laut klasik yang sebagaimana
tercantum dalam konvensi jenewa 1985, pada pokoknya laut dibagi dalam dua
daerah kawasan, yaitu laut territorial dan laut lepas.[3]
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian dan pengaturan penetapan lebar laut territorial dalam KHL 1982 serta
dalam perundang-undangan Indonesia ?
2. Bagaimana
batas-batas, zona dan wilayah / kawasan laut territorial dalam wilayah maritim?
C.
Tujuan
Makalah ini bertujuan
untuk Mengetahui mengenai Pengertian dan Pengaturan lebar laut territorial
dalam undang-undang Indonesia yang bisa membantu untuk menjadi salah satu acuan
mahasiswa untuk memperoleh bahan ajar dalam mata kuliah Hukum Laut
Internasional.
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
dan Pengaturan Lebar Laut Territorial dalam KHL 1982 dan Perundang-undangan di
Indonesia
Dalam pertentangan
antara kepentingan Negara pantai dan kepentingan internasional terhadap
penguasa wilayahlaut telah melahirkan konsepsi laut teritirial dan laut lepas.
Pengertian laut territorial selain diatur dalam Kodifikasi Den Haag 1930 dan
terdapat dalam Konvensi Jenewa 1958 yang intinya menegaskan kembali rumusan
pengertian laut territorial dalam ketentuan sebelumnya, pada pasal 1 konvensi
menyatakan bahwa laut territorial merupakan jalur laut yang terdapat
disepanjang pantai Negara berada di bawah kedaulatan Negara. Dan pengertian laut
territorial kedua konvensi hanya hanya menjelaskan posisi dari laut territorial
secara umum saja dan tidak menjelaskan secara jelas hal-hal yang berada
disepanjang jalur tersebut, seperti bagaimana bila ada selat yang ada di
sepanjang pantai dan masih ada lain nya persoalan yang tidak dirumuskan secara
jelas dalam konvensi tersebut.[4]
Dalam KHL 1982 tidak
ditemukan definisi tentang laut territorial tetapi dapat di tentukan pada pasal
3 , bahwa “setiap Negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga
suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang di
tentukan sesuai konvensi ini”, serta ditentukan dalam pasal 4, bahwa “ batas
luar laut territorial adalah garis yang setiap jarak titiknya dari titik yang
terdekat dari garis pangkal, sala dengan lebar laut territorial nya”.
Berdasarkan pengertian laut territorial tersebut dapat diuraikan unsure-unsur
nya, yaitu :
-
Bahwa laut territorial
merupakan bagian dari wilayah perairan nasional
-
Berupa suatu jalur laut
-
Lebar jalur tidak melebihi
12 mil laut
-
Diukur dari garis
pangkal kea rah sisi laut
-
Di batasi oleh garis luar (outer limit)
laut teritorial[5]
Menurut
Undang-Undang nomor 6 tahun 1996 Laut teritorial adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil
yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud
pasal 5 UU No 6 Tahun 1996, yaitu :
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan
menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
(2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal
biasa atau garis pangkal lurus.
(3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada
garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan
Indonesia.
(4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali
bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang
mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga
suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
(5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di
atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara permanen
berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak
seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut
teritorial dari pulau yang terdekat.
(6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
adalah garis air rendah sepanjang pantai.
(7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai
yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di
dekat sepanjang pantai.[6]
Sedangkan Status hukum laut teritorial
disebutkan dalam pasal 2 konvensi Jenewa
1958 menentukan bahwa kedaulatan Negara atas laut territorial meliputi juga
ruang udara diatas nya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Dan dalam UNCLOS
status hukum laut territorial ini ditegaskan kembali dalam pasal 2 ayat ( 1, 2
dan 3 ), yaitu :
1.
Kedaulatan Negara pantai, selain wilayah daratan dan
perairan pedalamannya dan dalam hal Negara kepulauan, perairan kepulauan nya,
melalui pulau dan jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut
territorial.
2.
Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas laut territorial
serta dasar laut dan tanah di bawah nya.
3.
Kedaulatan atas laut territorial dilaksanakan dengan tunduk
pada ketentuan konvensi dan peraturan hukum inrternasional lainnya.
Dengan demikian, di dalam laut
territorial Negara dapat menempatkan kedaulatannya pada tiga dimensi yaitu : di
perairannya , dasar laut dan tanah di bawah nya maupun ruang udara di atasnya.[7]
Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On
The Law Of The Sea ( Konvensi PBB tentang Hukum Laut ) mengatur pula ten tang
laut territorial nya pada ketentuan Umum , pasal 1 bagian a menyebutka
rezim-rezim hukum , yang salah satu nya adalah laut territorial, yaitu :
a.
Laut Teritorial
Konverensi-Konverensi PBB tentang
hukum laut yang pertama (1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar
laut territorial karna pada waktu itu prakteknya menunjukan keaneka ragaman
dalam masalah lebar laut territorial yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut.
Konverensi PBB tentang hukum laut ketiga akhirnya berhasil menentukan lebar
laut territorial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari keseluruhan paket
rezim-rezim hukum laut , khusus nya :
1.
Zona ekonomi eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil
laut dihitung dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur,
dimana berlaku kebebasan pelayaran.
2.
Kebebasan transit kapal-kapal asing melalui selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional:
3.
Hak akses Negara tanpa pantai ked an dari laut dan kebebasan
transit,
4.
Tetap dihormati hak lintas damai melalui laut territorial.[8]
-
Cara Menentukan Lebar dan Garis Batas Laut Teritorial
Seperti yang diuraikan diatas bahwa
penentuan laut territorial suatu Negara pantai dilakukan dengan cara
penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang
surut terendah seperti yang diatur dalam pasal 5 UNCLOS dan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1996 pasal 5. Namun UNCLOS dan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 1996 memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki
pantai yang saling berhadapan antar Negara pantai.
1. Pasal 10
Undang-Undang nomor
6 Tahun 1996 menyebutkan bahwa :
(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, kecuali adapersetujuan yang
sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut
adalahgaris tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik
ter-dekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing
negara diukur.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku apabila terdapat alasan hak historis ataukeadaan khusus lain yang
menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua
negaramenurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.[9]
2) Pasal 83 UNCLOS, 1982
menetapkan bahwa penentuan batas landasan continental antar negara dengan
pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian
berdasarkan hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian
yang pantas dan fair.
Berdasarkan peraturan diatas ,dapat
dinyatakan bahwa penentuan batas laut territorial antara Negara pantai yang
memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau kesepakatan
antar kedua belah pihak.[10]
-
Pengaturan Hukum Laut Indonesia
Secara nasional pengaturan mengenai
hak lintas damai terdapat dalam:
1) Undang-Undang Nomor 4 Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
2) Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
3) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea
1982.
4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan
5) Peraturan Pemerintah
No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan
Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
6) PP Nomor 19 tahun 1999
tentang pengendalian dan atau perusakan laut.
Namun melihat peraturan yang ada
mengatur tentang laut territorial di Indonesia masih banyak terdapat berbagai
kekurangan diantaranya tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.
2.
Batas-Batas
, Zona dan Wilayah / Kawasan Laut Teritorial dalam wilayah Maritim
Pada
pasal 2 konvensi ini menentukam bahwa kedaulatan Negara pantai meliputi laut
territorial nya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut di bawah nya.
Dalam hukum laut ini kedaulatan Negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai
bagi kapal asing . disamping ketentuan tentang garis pangkal untuk mengukul
laut territorial ( garis pangkal lurus dan garis pangkal penutup ) .
-
Garis Pangkal lurus
Apabila
suatu sungai mengalir langsung kelaut, garis pangkal adalah suatu garis lurus
melintasi mulut sungai antara titik-titik pada garis rendah kedua tepi sungai (
pasal 9 UNCLOS )
-
Garis Pangkal Penutup
Penggunaan garis
pangkal penutup ini berkenaan dengan teluk, yang khusus nya teluk pada panati
milik suatu Negara. Dan ditentukan dalam UNCLOS bahwa , “ untuk maksud pengukuran
daerah suatu lekukan , adalah daerah yang terletak antara garis air rendah
sepanjang pantai lekukan itu dan suatu garis yang menghubungkan titik-titik
garis air rendah pada pintu masuknya yang alamiah, apabila ada nya pulau-pulau
lekukan mempunyai lebih dari satu mulut maka setengah lingkaran dibuat pada
suatu garis yang panjang nya sama dengan jumlah pulau yang terletak di dalam
lekukan harus di anggap seolah-olah sebagai bagian dari perairan lekukan
tersebut ( pasal 10 ayat 3 UNCLOS ) dan selanjutnya “ jika jarak titik-titik
garis aor rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil
laut , maka garis penutup dapat ditarik antara dua garis air rendah tersebut,
dan perairan yang tertutup oleh garis penutup tersebut di anggap sebagai
perairan pedalaman ( pasal 10 ayat 4 UNCLOS ).[11]
Sebagaimana
telah disebutkan di atas , konvensi memuat ketentuan yang lebih terinci
mengenai beberapa keadaan khusus yang dapat mempengaruhi penetapan garis
pangkal, seperti instalasi pelabuhan, tempat berlabuh di tengah laut dan
elevasi surut .
Yang
lebih penting lagi adanya kenyataan dimana telah dicapai kesepakatan mengenai
batas terluar laut territorial, yaitu : 12 mil laut diukru dari garis pangkal .
dengan demikian hal Ini merupakan pemecahan terhadap suatu masalah yang belum
terselesaikan pada konferensi hukum laut yang pertama dan kedua, yang diadakan
pada tahun 1958 dan 1960. Untuk beberapa negara
tertentu batas 12 mil ini merupakan perluasan laut territorial nya , sedangkan
untuk beberapa negara
lainnya hal ini di artikan sebagai kegagalan konvensi untuk mengesahkan
tuntutan mereka yang lebih luas lagi. Dan yang lebih luas lagi, lebar laut
territorial 12 mil laut ini mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum
klasik termasuk dalam pengaturan laut lepas, dan kini tunduk pada pengaturan
hukum laut territorial, kebebasan berlayar yang dahulu dinikmati dilaut lepas
dan saat ini tidak diperoleh lagi di selat-selat tersebut. Mengenai hal ini
konvensi mencantumkan beberapa ketentuan khusus untuk selat-selat tertentu
dimana hak lintas damai dianggap tidak mencukupi lagi.
Dan
pada akhirnya konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut
teritorial antara negara-negara
yang pantainya berhadapan dan berdampingan, apabila tidak ada persetujuan yang
menyatakan sebaliknya, tidak suatu negarapun berhak untuk menetapkan batas laut
teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama
jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur
lebar laut territorial masing-masing Negara .[12]
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Laut teritorial menurut
hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai berikut :
Dalam KHL 1982 tidak
ditemukan definisi tentang laut territorial tetapi dapat di tentukan pada pasal
3 , bahwa “setiap Negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga
suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang di
tentukan sesuai konvensi ini”, serta ditentukan dalam pasal 4, bahwa “ batas
luar laut territorial adalah garis yang setiap jarak titiknya dari titik yang
terdekat dari garis pangkal, sala dengan lebar laut territorial nya”
Menurut
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 adalah laut territorial adalah jalur laut
selebar 12(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia
sebagaimana yang dimaksud pasal 5, yaitu :
(1)
Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis
pangkal lurus kepulauan.
(2)
Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal
lurus.
(3)
Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis
-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah
pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
(4)
Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari
jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia
dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125
(seratus dua puluh lima) mil laut.
(5)
Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun
mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara permanen berada di atas permukaan
laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada
suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
(6)
Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah
.
DAFTAR
PUSTAKA
Toto pramdoyo.S ,S.H, 1985, “ wawasan
nusantara” , Jakarta, PT.Rinerka cipta
Muthalib tahar, Abdul.S,H.,M,Hum, 2013,
“zona-zona maritime berdasarkan KHL 1983 dan perkembangan hukum laut
Indonesia,Lampung, Fakultas hukum UNILA
W.koers, Albert, 1991, “Konvensi PBB tentang hukum laut”, Yogyakarta, UGM pers
Dr.Heryandi,S.H,M.S,2008,”Hukum Laut
Internasional (pengaturan zona maritime dalam united nations convention on the
law of the sea 1982 dan dalam pengaturan Undang-Undang Indonesia,Lampung, Unila
Tahar, Abdul muthalib,S.H.,M.Hum,2012,”
Hukum Internasional dan perkembangan nya “, Lampung, Fakultas Hukum UNILA
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention On The Law Of The Sea ( Konvensi PBB tentang Hukum Laut )
Konvensi
Hukum Laut 1982 ( UNCLOS )
Kusumaatmadja,mochtar.1978, “hukum
laut internasional“ , Bandung, Bina cipta.
PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN
PENGATURAN NYA DALAM UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
TUGAS MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
PUBLIK
Oleh
FRANCHISKA
AGUSTINA
1622011004
Kelas B1
Dosen : Prof. Dr. Heryandi,S.H.,M.S

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
[1] Toto pramdoyo.S ,S.H, 1985, “ wawasan nusantara, Jakarta,
PT.Rinerka cipta, hal 2
[2] Muthalib tahar, Abdul.S,H.,M,Hum, 2013, “zona-zona maritime
berdasarkan KHL 1983 dan perkembangan hukum laut Indonesia,Lampung, Fakultas
hukum UNILA, hal 11
[3] W.koers, Albert, 1991, “Konvensi
PBB tentang hukum laut”, Yogyakarta, UGM pers, hal 3
[4] Dr.Heryandi,S.H,M.S,2008,”Hukum Laut Internasional ( pengaturan
zona maritime dalam united nations convention on the law of the sea 1982 dan
dalam pengaturan Undang-undang Indonesia,Lampung, Unila, hal 37
[5] Tahar, Abdul muthalib,S.H.,M.Hum,2012,” Hukum Internasional dan
perkembangan nya “, Lampung, Fakultas Hukum UNILA, hal 51
[6] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, pasal
5 ( 1-7 )
[7] Dr.Heryandi,S.H,M.S,2008,”Hukum Laut Internasional ( pengaturan
zona maritime dalam united nations convention on the law of the sea 1982 dan
dalam pengaturan Undang-undang Indonesia,Lampung, Unila, hal 43
[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The
Sea ( Konvensi PBB tentang Hukum Laut ), ketentuan umum pasal 1
[9] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, pasal
10 ayat ( 1 dan 2 )
[10] UNCLOS pasal 83
[11] Tahar, Abdul muthalib, 2013, “ zona-zona maritime berdasarkan KHL
1982 dan perkembangan hukum laut Indonesia “, Lampung, Fakultas Hukum UNILA,
hal 14-15
[12] W.koers, Albert, 1991, “Konvensi
PBB tentang hukum laut”, Yogyakarta, UGM pers, hal 6-7
Komentar
Posting Komentar